Ketika Wong Jawa Gagal Njawani
"Wong Jawa ora Njawani."
Ungkapan ini bukan sekadar sindiran yang berseliweran di warung kopi atau meja perdebatan budaya. Ia adalah gema sunyi dari hati yang gelisah, jeritan lirih dari peradaban yang kian kehilangan cermin dirinya sendiri. Orang Jawa yang lahir di tanah Jawa, berbicara dengan lidah Jawa, namun hatinya jauh dari semangat Jawa. Seperti pohon yang tumbuh di tanah subur, tapi akarnya tak lagi menyentuh sumur kehidupan.
Hari ini, kita menyaksikan bagaimana warisan luhur itu perlahan memudar. Nilai-nilai seperti unggah-ungguh, tepa slira, andhap asor, dan gotong royong, pernah menjadi napas kehidupan sehari-hari, kini menguap di antara deru mesin modernitas. Tradisi menjadi barang antik yang dikagumi dari jauh, tapi tak lagi dirawat dengan cinta.

Globalisasi telah menjadikan dunia satu panggung raksasa, tempat budaya saling bersinggungan. Di antara tabrakan itu, identitas yang rapuh mudah tergilas. Kita menyambut kebaruan dengan gegap gempita, tapi sering lupa menakar apa yang hilang dalam prosesnya. Gaya hidup modern, bahasa asing, dan citra-citra digital merasuk ke ruang terdalam, menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap kuno. Inilah wajah kolonialisme masa kini: tak lagi membawa senapan, tetapi membawa wacana yang memikat, yang perlahan mengajak kita mencabut akar dari tanah sendiri.
Bukan sekadar kehilangan budaya, melainkan kehilangan jati diri. Ketika manusia tercerabut dari akarnya, ia akan rapuh, mudah diombang-ambingkan zaman. Lebih parah lagi, ketika masyarakat mulai diajarkan untuk meragukan budayanya sendiri, menganggapnya tidak islami, tidak relevan, atau bahkan musyrik, padahal sejak dahulu, Jawa dan Islam telah bersinergi dalam keharmonisan.
Sejarah menjadi saksi bagaimana leluhur kita meramu kearifan lokal dan nilai-nilai agama dalam satu wadah yang halus dan agung. Lihatlah upacara sedekah bumi, mitoni, atau wiwitan. Di dalamnya ada doa, ada syukur, ada penghormatan kepada Allah SWT dan kepada alam yang memberi hidup.
Bahasa Jawa, dengan tingkatan-tingkatannya, ngoko,dan kromo, tak hanya mengatur sopan santun, tetapi membentuk karakter dan kepekaan rasa. Ia mengajarkan bahwa berbicara pun ada etikanya, bahwa kata bisa menjadi cermin jiwa.
Sayangnya, hari ini tak sedikit yang merasa malu menjadi Jawa. Busana adat dianggap tidak keren, bahasa Jawa dilupakan, bahkan dianggap tidak berguna. Yang asing diagungkan, yang asli ditinggalkan. Jika ini terus berlangsung, kita bukan hanya akan kehilangan satu bahasa atau satu tradisi, melainkan kehilangan panduan hidup yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Njawani bukan berarti terjebak dalam romantisme masa silam. Ia adalah kesadaran penuh untuk kembali mengenali diri. Njawani adalah merawat akar agar batang tak mudah rebah diterpa angin zaman. Njawani adalah berdiri tegak di tanah sendiri, tapi tetap membuka jendela untuk dunia. Bukan menolak kemajuan, tetapi menjadikannya alat untuk memperkuat, bukan menghapus, identitas.
Karena menjadi Jawa sejati adalah menjadi manusia yang mikul dhuwur mendhem jero, mengangkat yang luhur, dan menyimpan yang kelam dengan bijak. Ia adalah laku hidup, bukan sekadar status kelahiran.
Maka selama kita masih mau belajar dari tanah yang kita injak, dari leluhur yang mendoakan kita dalam diam, dari bahasa yang pernah menjadi doa dan pujian, selama itu pula kita masih punya harapan. Harapan bahwa kita tak akan pernah benar-benar menjadi Wong Jawa sing ora Njawani.
Ditulis: Arif Sutoyo SH (Arif Khilwa) - Guru Sosiologi MA Salafiyah Kajen Pati
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Melawan Disrupsi Nilai: Urgensi Pendidikan Pancasila dalam Meneguhkan Karakter Mahasiswa di Era Globalisasi.
Saat ini, kita hidup di era globalisasi. Dimana arus informasi dan ideologi asing yang mengalir deras.Mmahasiswa sebagai kelompok intelektual, kondisi ini dapat dijadikan peluang untuk
Merawat untuk Menjadi Berguna
"Tidak akan mungkin bisa sempurna, namun kita bisa menjadi berguna" Kataku dalam hati saat melihat foto lama yang muncul di beranda media sosial. Kita semua mengerti bahwa kesempurnaan
Menjadi Guru Merdeka Dalam Implementasi Kurikulum Merdeka
Tujuan Pendidikan Nasional pada dasarnya mengacu pada UUD 1945 alinea ke-4 yang didalamnya terdapat kalimat “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kalimat tersebut menggambarkan b
TIGA CILOK REKOMENDED MENURUT TIKA
Hai Guys… Siapa sih yang nggak tahu cilok. Pasti tahu dong. Seperti umum kita ketahui bahwa cilok itu jajanan yang terbuat dari tepung dan biasanya ada isian daging. Men
KUPI: Rencana dan Jalan Panjang Ulama Perempuan
Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang telah dilaksakan pada tanggal 23-26 November 2022 bertempat di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah berjalan dengan lancar. Seperti
DISIPLIN TAK SESUSAH MELUPAKAN MASA LALU
Banyak orang yang ingin menjadi pribadi yang disipin. Disiplin dalam hal apa saja. Namun, banyak dari kita yang belum tahu langkah apa yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kein
BUAH ENAM TAHUN ISTIQAMAH
Kala itu, aku adalah murid kelas 3 Madrasah Ibtidaiyyah yang baru lulus dari Taman Pendidikan Alquran atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan TPQ atau TPA. Pada w
BUKU INI WAJIB DIBACA OLEH FAJAR SAD BOY
RESENSI BUKU Judul Buku : MAAF TUHAN, AKU HAMPIR MENYERAH Penulis : Alfialghazi Penerbit &nb
Trabas: Menaklukkan Hati dan Pikiran
Oleh Rangga Adi Setiawankelas X A Trabas merupakan kegiatan adventure trail di alam bebas atau jalur tertentu. Biasanya, kegiatan ini digemari oleh anak muda, terutama laki-laki, namun
How Do Makeup and Skincare Fare with Students
By: Naila Rajiha According to the Cambridge dictionary, "skincare" refers to things people do and use to keep their skin healthy and attractive, whereas "makeup" refers to colo